Tuesday, March 19, 2024

Asuhan Keperawatan Efusi Pleura

 Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis.


Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga yang terletak di antara permukaan visceral dan parietal adalah proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 samapai 15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.


Pada gangguan tertentu, cairan dapat berkumpul dalam ruang pleural pada titik dimana penumpukan ini akan menjadi bukti secara klinis, dan hampir  selalu merupakan signifikan patologi. Efusi dapat terdiri atas cairan yang secara relative jernih, yang mungkin merupakan transudat atau eksudat, atau dapat mengandung darah atau purulen. Transudat (filtrat plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh) terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural terganggu, biasanya oleh ketidakseimbangan tekanan idrostatik dan onkotik. Transudat menandakan bahwa kondisi seperti asites atau penyakit sistemik seperti gagal jantung kongestif atau gagal ginjal mendasari penumpukkan cairan. Eksudat  (ekstravasasi cairan ke dalam jaringan atau kavitas) biasanya terjadi akibat inflamasi oleh produk bakteri atau tumor yang mengenai permukaan pleural.


Efusi pleural mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongestif, tuberculosis, pneumonia, infeksi paru (terutama virus), sindrom nefrotik, penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplastik. Karsinoma brokogenik adalah malignasi yang paling umum berkaitan dengan efusi pleural. Efusi pleural dapat juga tampak pada sirosis hepatis, embolisme paru, dan infeksi parasitic.


 


1.    Etiologi


Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan sekunder. Kelainan primer pada pleura hanya ada 2 macam yaitu, infeksi kuman primer intra pleura dan tumor primer pleura.


Selain itu, efusi pleura disebabkan oleh adanya neoplasma, seperti neoplasma bronkogenik dan metastatic. Kardiovaskuler, seperti gagal jantung kongestif, embolus pulmolar, dan perikarditis. Penyakit pada abdomen, seperti pancreatitis, asites, abses, dan sindrom Meigs. Infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, mikobakterial, dan parasit. Trauma dan lain-lain seperti lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, sindrom nefrotik, dan uremia.


Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk cairan pleura dibagi lagi menjadi hemoragi yaitu, transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindrom vena kava superior, tumor, dan sindrom meige. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi, dan penyakit kolagen. Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, dan tuberculosis.


Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung kongestif,sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus, eritematosus, sistemis, tumor dan tuberculosis.


 


2.    Manifestasi Klinis


Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menyebabkan sesak napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan bunyi datar, pekak saat perkusi. Egofoni akan terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat  terjadi  jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat efusi pleural kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak terdapat.


Keberadaan pleural dikuatkan dengan rongent dada. Ultrasound, pemeriksaab fisik, dan torakosentesis. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk tubercolosis), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, LDH, protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan Ph. Biopsy pleura mungkin juga dilakukan.


 


3.    Komplikasi


Infeksi dan fibrosis paru.


 


4.    Patofisiologi


Terjadi efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.


Pada umumnya, efusi karena penyakit hampir mirip plasma (eksudat), sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (akibat samping) terhadap peradangan atau adanya neoplasma.


Klien dengan pleura normal pun dapat terjadi efusi pleura ketijka terjadi payah atau gagal jantung kongestif. Saat jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal diseluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan hydrostatic pada kapiler yang selanjutnya timbul hipertensi kapiler systemic dan cairan yang ada dalam pembuluh darah pada area tersebut menjadi bocor dan masuk kedalam pleura, ditambah dengan adanya penurunan reabsorpsi cairan tadi oleh kelenjar limfe di pleura mengakibatkan pengumpulan cairan yang abnormal atau berlebihan. Hipoalbuminemia (missal pada klien nefrotik sindrom, malabsobsi atau keadaan lain dengan asites dan edema anasarka) akan mengakibakan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan reabsorpsi yang berkurang. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravascular yang mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk kedalam rongga pleura.


Luas efusi pleura yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada kekakuan relative paru dan dinding dada. Pada volume paru dalam batas pernapasan normal, dinding dada cenderung recoil ke luar sementara paru-paru cenderung untuk recoil kedalam.


Normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap,karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9cmH2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun (misalnya pada penderita hipoalbuminemea dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau neuplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung) dan tekanan negatif intrapleura apabila terjadi atelektasis paru (Alsagaf, 1995).


Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan bebas dalam kafum pleura. Kemungkinan proses akumulasi cairan dirongga pleura terjadi akibat beberapa proses yang meliputi (Guyton dan Hall, 1997), adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura, gagal jantung yang menyebabkan tekanan katilep paru dan tekaran perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura, menurunnya tekanan osmotik koloid plasma juga memungkinkan terjadinya transudasi cairan yang berlebihan, adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya membran kapiler daan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan kedalam rongga secara cepat.


Infeksi pada tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacteryom tuberkulosis yang masuk melalui saluran pernafasan menuju alveoli, sehingga terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfangitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permeabilitas membran akan meningkat dan akhirnya menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosis paru melalui fokus sub pleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga diakibatkan dari robeknya perkijuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau kolumna vertebralis. Adapun bentuk cairan efusi akibat toberkulosis paru adalah eksudad yang berisi protein dan terdapat pada cairan pleura akibat kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serosa, namun kadang- kadang bisa juga hemarogi.


 


5.    Patogenesis


Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi seperti adanya gangguan dalam reabsorpsi cairan pleura (misal karena adanya tumor), peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura). Sedangkan secara patologis, efusi pleura terjadi dikarenakan keadaan-keadaan seperti, meningkatnya tekanan hidrostatik (misal akibat gagal jantung), menurunnya tekanan osmotic koloid plasma (misal hipoproteinemia), meningkatnya permeabilitias kapiler (missal infeksi bakteri), dan berkurangnya absorpsi limfatik.


     Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya adalah sebagai berikut:


a.    Transudat


1)   Gagal jantung, sirosis hepatis dan asites, hipoproteinemia pada nefrotik sindrom, obstruksi vena kava superior, pasca bedah abdomen, dialysis peritoneal, dan atelektasis akut.


2)   Eksudat


a)    Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, abses)


b)   Neoplasma (ca.paru, metastasis, limfoma, leukemia)


c)    Emboli atau infark paru


d)   Penyakit kolagen (SLE, rheumatoid arthritis)


e)    Penyakit gastrointestinal (pancreatitis, ruptur esophagus, abses hati)


f)    Trauma (hemotorak, khilotorak)


 


6.    Penatalaksanaan


Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan cairan, dan menghilangkan ketidaknyamanan serta dispnea. Pengobatan spesifik ditunjukkan pada penyebab dasar (misal gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).


Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis, dan untuk menghilangkan dispnea. Namun bila penyebab adalah malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pnemotoraks. Dalam keadaan ini pasien mungkin diatasi dengan pemanasa selang dada dengan drainase yang dihubungkankan kesistem drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru.


Agens yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin, dimasukkan ke dalam ruang pleural untuk mengobservasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.  Setelah agens dimasukkan selang dada di klem dan pasien dibantu untukmengmbil berbagai posisi untuk memastikan penyebaran agens secara merata dan untuk memaksimalkan kontaks agens dengan permukaan pleura. Selang dilepaskan klemnya sesuai yang di resepkan, dan drainase dada biasanya diteruskan beberpa hari lama untuk mencegah reakumulasi cair dan untuk meningkatkan pembentukan adesi antara pleuralis viseralis dan parietalis.


Modalitas pengobatan lainnnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah pleuroktomi, dan terapi diuretic. Jika cairan pleura merupakan eksudat, prosedur diagnostic yang lebih jauh dilakukan untuk menentukan penyebabnya. Pengobatan untuk penyebab primer kemudian dilakukan.


 


7.    Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tetapi kadang-kadang sulit juga, sehingga perlu pemeriksaann penunjang seperti sinar tembus dada. Diagnosis yang pasti bisa didapatkan melalui tindakan torakosentesis dan biopsy pleura pada beberapa kasus.


a.    Sinar Tembus Dada


Permukaan cairan yang terdapat pada rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaaannya horizontal dari lateral ke medial pasti terdapat udara dalm rongga tersebut yang bisa berasal dari luar atau dari dalam paru-paru itu sendiri.


Hal lain yang dapat terlihat dalam foto dada efusi pleura adalah terdrongnya media strernum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Akan tetapi , bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan, mediastenum akan tetap pada tempatnya.


b.    Torakosentesis


Asoirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostic maupun therapeutic. Torakosentesis sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah paru disela iga ke 9 garis aksila posterior dengan memakai jarum abbocath nomer 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000-1500cc pada setiap aspirasi. Ketika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, maka akan menimbulkan syok pleural (hipotensi) atau edema paru. Edema paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.


Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat


 


Transudat


Eksudat


1.    Warna


2.    Bekuan


3.    Berat jenis


4.    Leukosit


5.    Eritrosit


6.    Hitung jenis


7.    Protein total


8.    LDH


9.    Glukosa


10.     Fibrinogen


11.     Amylase


12.     Bakteri


1.    Kuning pucat, jernih


2.    –


3.    < 1018


4.    < 1000 / Ul


5.    Sedikit


6.    MN (limfosit atau mesotel)


7.    < 50% serum


8.    < 60% serum


9.    = plasma


10.    0,3-4%


11.    –


12.    –


 


1.    Jernih, keruh, purulen, hemoreged


2.     -/+


3.     > 1018


4.     Bervariasi, > 1000/uL


5.     Biasanya banyak


6.     Terutama polimorfornukler (PMN)


7.     > 50% serum


8.     > 60% serum


9.     =/< plasma


10. 4-6% atau lebih


11. > 50% serum


12. -/+


Sumber : Black, J.M., dan Jacob, E.M.,1993


c.    Biopsi pleura


Pemeriksaan histologis satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50-75% diagnosa kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil  biopsy pertama tidak memuaskan dapat dilakukan biopsy ulangan. Komplikasi biopsy adalah pneumotorak, hemotorak, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.


d.   Pendekatan pada efusi atau yang tidak terdiagnosa.


e.    Pemeriksaan penunjang lainya:


1)   Bronkoskopi:  pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum, abses paru.


2)   Scanning isotop  : pada kasus-kasus dengan embaoli paru


3)   Torakoskopi (fiber-optic pleuroscopy); pada kasus dengan neoplasma atau TBC.


f.     Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)


Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kapasitas total paru, dan penyakit pleural pada tuberkulosis kronis tahap lanjut.


g.    Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil thorakosentesis secara makroskopik biasanya dapat berupa cairan hemoragi, eksudat, dan transudat.


Haemorrhagic pleural efusion, biasanya terjadi pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkulosis.


Yellow exudate pleural efusion, terutama terjadi pada keadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.


Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner


Hasil


Kemungkinan Penyebab atau penyakit


Leukosit 25000 (mm3)


Empiema


Banyak Neutrofil


Pneumonia, infark paru, pankreatitis, dan TB paru.


Banyak limfosit


Tuberkulosis, limfoma, dan keganasan


Eosinofil meningkat


Emboli paru, Polyathritis nodosa, parasit, dan jamur


Eritrosit


Mengalami peningkatan 1000-10000/mm3, cairan tampak hemoragis, dan sering dijumpai pada penderita pankreatitis atau pneumonia. Bila eritrosit >100000 mm3 menunjukkan adanya infark paru, trauma dada, dan keganasan


Misotel banyak


Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan


Sitologi


Hanya 50-60% kasus-kasus keganasan dapat ditemukan keberadaan sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas, atau atelektasis.


 


8.    Pohon Masalah


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


BAB III


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


 


A.  Pengkajian


1.    Biodata


Sesuai dengan etiologi penyebabnya, efusi pleura dapat timbul pada seluruh usia. Status ekonomi (tempat tinggal) sangat berperan terhadap timbulnya penyakit ini terutama yang didahului oleh tuberculosis paru. Klien dengan tuberculosis paru sering ditemukan didaerah padat penduduk dengan kondisi sanitasi kurang.


 


2.    Riwayat Kesehatan


a.    Keluhan Utama


Kebanyakan efusi pleura bersifat asymptomatic, gejala yang timbul sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritic, ketika efusi sudah membesar dan menyebar kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan nafas pendek. Tanda fisik meliputi defiasi trakea menjauh sisi yang terkena, dullness pada perkusi da penurunan bunyi pernapasan pada sisi yang terkena.


b.    Riwayat Kesehatan Dahulu


Klien dengan efusi pleura terutama akibat adanya infeksi non pleura biasanya mempunyai riwayat penyakit tuberculosis paru.


c.    Riwayat Kesehatan Keluarga


Tidak ditemukan data penyakit yang sama ataupun diturunkan dari anggota keluarganya yang lain, terkecuali penularan infeksi tuberculosis yang menjadi factor  penyebab timbulnya efusi pleura.


d.   Pengkajian Psikososial


Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku klien terhadap tindakan yang dilakukan kepada dirinya.


 


3.    Pemeriksaan Fisik


Pada klien efusi pleura bentuk hemitorak yang sakit mencembung, kosta mendatar, ruang intercosta melebar, pergerakan pernapasan menurun. Pendorongan mediastinum kearah hemotorak kontralateral yang diketahui dari posisi trakea dan iktus cordis. RR cenderung meningkat dan klien biasanya dispneu.


Vocal fremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cirannya lebih dari 250cc. disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.


Suara perkusi redup sampai pekak bergantung pada jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka pada pemeriksaan ekskursi diafragma akan didapatkan adanya penurunan kemampuan pengembangan diafragma. Auskultasi suara napas menurun sampai menghilang, egofoni.


Pemeriksaan fisik B1-B6:


a.    B1 (Breathing)


Inspeksi


Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen.


Palpasi


Pendorongan mediastinum kearah hemithoraks kontralateral yang diketahui dari posisi trakea dan ictus cordis. Taktil vremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya lebih dari 300cc. Disamping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.


Perkusi


Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari jumlah cairannya.


Auskultasi


Suara napas menurun sampai meenghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, cairan semakin keatas semakin tipis.


b.    B2 (Blood)


Pada saat dilakukan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normal yang berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pergeseran jantung.


Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus memerhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung. Selain itu, perlu juga memeriksa adanya thrill, yaitu getaran ictus cordis.


Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung daerah mana yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah terjadi pergeseran jantung karena pendorongan cairan efusi pleura.


Auskultasi dilakukan untuk menetukan bunyi jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung, serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.


c.    B3 (Brain)


Pada saat dilakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji, setelah sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menetukan apakah klien berada dalam keadaan compos mentis, somnolen, atau koma. Selain itu fungsi-fungsi sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan.


d.   B4 (Bladder)


Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria, karena itu merupakan tanda awal syok.


e.    B5 (Bowel)


Pada saat inspeksi, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa. Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.


f.     B6 (Bone)


Hal yang perlu diperhatikan adalah adakah edema peritibial, feel pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer,serta dengan pemeriksaan capillary refill time. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk kemudian dibandingkan antara bagian kiri dan kanan.


 


B.  Diagnosa Keperawatan


1.      Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.


2.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal atau faringeal.


3.      Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler.


4.      Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.


5.      Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas).


6.      Gangguan pola tidur dan istirahat yang berhubungan dengan batuk yang menetap dan sesak napas perubahan suasana lingkungan.


7.      Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.


 


C.  Intervensi Keperawatan


Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura


Tujuan:


Dalam waktu 2x24jam setelah diberikan intervensi klien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.


Kriteria Hasil:


Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalamm batas normal (16-24x/menit). Pada pemeriksaan Rontgen thoraks tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.


No


Rencana Intervensi


Rasional


1


Identifikasi faktor penyebab


Dengan mengidenifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.


2


Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, serta melaporkan setiap perubahan yang terjadi


Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.


3


Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90o atau miringkan ke arah sisi yang sakit


Penurunan diafragma dapat memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa minimal. Miring ke arah sisi yang sakit dapat menghindari efek penekanan gravitasi cairan sehingga ekspansi dapat maksimal


4


Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif


Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau napas dalam. Penekanan otot-otot  dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif


5


Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thoraks


Pemberian O2 dapat menurunkan beban pernapasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hipoksia. Dengan foto thoraks, dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.


6


Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis


Tindakan thorakosentensis atau pungsi pleura bertujuan untuk menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.


Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal atau faringeal


Tujuan:


Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi, bersihan jalan napas kembali efektif


Kriteria Hasil:


-   Klien mampu melakukan batuk efektif


-   Pernapasan klien normal (16-24 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. Bunyi napas normal dan pergerakan pernapasan normal.


No


Rencana Intervensi


Rasional


1


Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas).


Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapasan.


2


Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter dan volume sputum


Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat).


3


Berikan posisi semifowler/fowler tinggi dan batuk efektif


Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.


4


Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi:


Obat antibiotik


 


 


 


 


 


Agen mukolitik


 


 


 


Bronkodilator: jenis aminofilin via intravena


 


 


 


Kortikosteroid


 


 


Pengobatan antibiotik yang ideal adalah dengan adanya dasar dari tes uji resistensi kuman terhadap jenis antibiotik sehingga lebih mudah mengobati pneumonia


 


Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk memudahkan pembersihan


 


Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan trakheobronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara


 


Kortikostreroid berguna pada hipoksemia dengan keterlibatan luas dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan


Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler.


Tujuan:


Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24jam klien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal yaitu untuk dewasa pH 7,35 - 7,45, anak-anak pH 7,36 – 7,44, PcO2 35 – 45 mmHg, PO2 75 -100 mmHg, HcO3 24 – 28 meq/L


dan bebas gejala distress pernafasan.


Kriteria Hasil:


Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi. 


No


Intervensi


Rasional


1


Kaji frekuensi , kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori , nafas bibir, ketidakmampuan bicara atau  berbincang.


Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.


 


2


Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu


Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas.


 


3


Kaji status mental


 


 


Gelisah, mudah terangsang, bingung dan somnolen dapat menunjukkan hipoksemia atau penurunan oksigenasi serebral. Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/konsumsi oksigen.


4


Pertahankan istirahat tidur, dorong menggunakan teknik relaksasi dan aktivitas senggang


Memenuhi kebutuhan dasar klien, stress bisa mengakibatkan pola pernapasan terganggu


5


Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah atau perasaan dengan komunikasi terapeutik. Jawab pertanyaan dengan jujur. Kunjungi dengan sering, atur pertemuan atau kunjungan oleh orang terdekat atau pengunjung sesuai indikasi


Ansietas adalah manifentasi masalah psikologis sesuai dengan respon fisiologi terhadap hipoksia. Pemberian keyakinan dan meningkatkan rasa aman dapat menurunkan komponen psikologis, sehingga menurunkan kebutuhan oksigen dan efek merugikan dari respon fisiologis.


Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.


Tujuan:


Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.


Kriteria Hasil:


- Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan.


- Berat badan normal dan hasil laboratorium dalam batas normal


Albumin: 4-5,5mg/100ml


Transferin: 170-250 mg/100ml


BUN: 10-20mg/100ml


Ekskresi Kreatinin/hari: 0,6-1,3mg/100ml (laki-laki) dan 0,5-1,0 mg/100mg) wanita


No


Intervensi


Rasional


1


Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi. 


 


Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.


2


Auskultasi suara bising usus.


Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi pencernaan.


3


Lakukan oral hygiene setiap hari.


 


Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.


4


Sajikan makanan semenarik mungkin.


Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.


5


Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.


Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan reflek.


6


 Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP


 


Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.


7


Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium albumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.


Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam tubuh.


Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas).


Tujuan:


Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.


Kriteria Hasil:


-  Pasien mampu bernafas secara normal


-  Pasien mampu beradaptasi dengan keadaannya


-  Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai


-  Nafas teratur dengan frekuensi 16-24 kali permenit


-  Nadi 60-100 kali permenit


No


Intervensi


Rasional


1


Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowler. Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya.


Pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama dalam perawatan.


 


2


Ajarkan teknik relaksasi


 


Rasional : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan


3


Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.


 


Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam mengatasi stress.


4


Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.


Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik


5


Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.


 


Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.


6


Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.


 


Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.


Gangguan pola tidur dan istirahat yang berhubungan dengan batuk yang menetap dan sesak napas perubahan suasana lingkungan.


Tujuan:


Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.


Kriteria Hasil:


- Pasien tidak sesak nafas


- Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan


- Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.


No


Intervensi


Rasional


1


Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.


 


Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.


2


Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien sebelum dirawat.


 


Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan mengganggu proses tidur


3


Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.


 


Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.


4


Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.


 


Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.


Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.


Tujuan:


Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan.


Kriteria Hasil:


- Klien dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.


- Klien  dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik.


- Klien dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.


No


Intervensi


Rasional


1


Kaji patologi masalah individu.


 


Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.


2


Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.


                             


Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh.


3


 Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).          


Berulangnya effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk mencegah, menurunkan potensial komplikasi.


 


4


Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan).


                             


Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.

Monday, February 19, 2024

SEJARAH MIKROBIOLOGI

 SEJARAH MIKROBIOLOGI

OLEH ; Hj. ELLYANSIH, BSc, SPd


·        ANTHONI VAN HEEWENHOEK

MIKROSKOP----------------à KUMAN DAN JAMUR


·        LEOUES PASTUR                      : MENCEGAH PENULARAN PENYAKIT DENGAN

VAKSINASI -----------------à  IMONOLOGI


·        EDWARD JENER                       : VAKSINASI


·        FLEMING                                    : PHENOMENA ANTIBIOTIK


·        BRAIN AND FLORAY  : ANTIBIOTIK


§  ASPEK – ASPEK MIKROBIOLOGI

·        AQUATIC ( MARINE ) MIKROBIOLOGI

·        INDUSTRIAL MIKROBIOLOGI

·        AGRICULTURAL BIOLOGI

·        ANIMAL MIKROBIOLOGI

·        MEDICAL MIKROBIOLOGI


§  MIKROSKOP

·        STAND ( BASE + FOOD)

·        SUSUNAN ALAT OPTIK TDR        : OCULAR

: OBYECTIVE

: CONDENSOR

: DIAFRAGMA

: CERMIN

§  BODY (ARM)

§  TUBE

                                                                        1

v  OCCULER       MENURUT PEMBESARAN TERDAPAT 2 MACAM :


Ø  M 5 x

Ø  M 10 x

v  OBYEKTIVE        MENURUT PEMBESARANNYA TERDAPAT 3 MACAM:


Ø  LOWER POWER OBYECTION (MIO x). GUNANYA :

·         UNTUK MELIHAT OBYEK YANG CUKUP DENGAN PEMBESARANNYA KECIL.

¨      MISALNYA : CACING DEWASA.

·         UNTK MELIHAT DAERAH PEMERIKSAAN.

·         UNTUK MENCARI SINAR YANG CUKUP  SEBELUM MEMAKAI YANG LEBIH BESAR.


Ø  HIGH POWER OBJECTIVE (M 45 x) GUNANYA :

·         UNTUK MELIHAT JAMUR DAN TELUR CACING.


Ø  OIL UMERSION OBJECTIVE (100 x) . SYARATNYA :

·         LENSA HARUS BERSIH

·         CONDENSOR DICETAK PADA LEVEL TERTINNGI

·         DIFRAGMA

¨      GUNANYA UNTUK MELIHAT :

a)                BACTERI

b)              PROTOZOA

KET.

1.      CONDENSOR : CONVERGENSI SINAR SEMAKSIMAL MUNGKIN.

2.      DIAFRAGMA  : MENGATUR BANYAKSEDIKITNYA SINAR YANG MASUK.



                                                      2



1.     OBYEK DISINARI DENGAN SINAR

OBLIQUE/MUTLAK SIHINGGA SINAR DATANG TAK LANGSUNG.

SYARAT :  a. CONDENSOR KHUSUS

MIS. :        -  CONDENSOR PARABOLOID

    -  CONDENSOR CARDIOD

b. INTENSITAS CAHAYA HARUS TINGGI

       GUNA       : a. UNTUK MELIHAT KUMAN YANG TAK MENYERAP WARNA

MIS.  : SPIROCHAETA

b. UNTUK MELIHAT PERGERAKAN KUMAN

  2.  PENGELUARAN SINAR OLEH SUATU BAHAN, KARENA ADANYA RANGSANGAN.

PRINSIP  :     SEDIAAN DICAT DENGAN SUATU BAHAN YANG MEMPUNYAI SINAR

                               FLOURESCENT

MIS.  : AURAMIN

                                            FLAVIN DAN FUCHSIN

       GUNA    : UNTUK MELIHAT KUMAN YANG TAK TAMPAK DENGAN SINAR

                        BIASA

MIS : - M TUBERCULOSE

                                      - NEISSERIA

3 .  ELEKTRON YANG BERFUNGSI SEBAGAI SINAR

        PRINSIP   : MENGGUNAKAN LENSA ELEKTROMAGNIT

        GUNA      :  -    INTI

                             -   KROMOSOME

-          VIRUS M 10.000 – 50.000 x

-           

4.       AMPLITUDO : MENENTUKAN TERANGNYA CAHAYA

GUNA  :     -    KUMAN YANG HIDUP


-          KUMAN YANG TAK DICAT

Saturday, January 27, 2024

Asuhan Keperawatan Limfadenopaty

 Askep Limfadenopaty


Askep Limfadenopaty



A. Pengertian

Limfadenopati adalah suatu tanda dari infeksi berat dan terlokalisasi (Tambayong, 2000; 52).

Limfadenopati adalah digunakan untuk menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe (Price, 1995; 40).

Limfadenopati adalah pembengkakan kelenjar limfe (Harrison, 1999; 370).

Dari pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Limfadenopati adalah kelainan dan pembengkakan kelenjar limfe sebagai tanda dari infeksi berat dan terlokalisasi.



B. Etiologi

1. Peningkatan jumlah limfosit makrofag jinak selama reaksi terhadap antigen.

2. infiltrasi oleh sel radang pada infeksi yang menyerang kelenjar limfe.

3. Proliferasi in situ dari limfosit maligna atau makrofag.

4. infiltrasi kelenjar oleh sel ganas metastatik.

5. Infiltrasi kelenjar limfe oleh makrofag yang mengandung metabolit dalam penyakit cadangan lipid.

(Harrison, 1999; 370)






.

C. Patofisiologi

Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah , tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.

Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah. (Price, 1995; 39 - 40).

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan petunjuk tentang kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut secara langsung ( misalnya hitung darah lengap, biakan darah, foto rontgen, serologi, uji kulit). Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa penyebab yang jelas tanpa diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan. (Harrison, 1999; 372). Biopsi sayatan: Sebagian kecil jaringan tumur mame diamdil melalui operasi dengan anestesi umum jaringan tumor itu dikeluarkan, lalu secepatnya dikirim kelaborat untuk diperriksa. Biasanya biopsi ini dilakukan untuk pemastian diagnosis setelah operasi. ( Oswari, 2000; 240 ). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk kejaringan otak dengan tekanan setempat yang tinngi. ( Oswari, 2000; 34 ). Pada awal pembiusan ukuran pupil masih biasa, reflek pupil masih kuat, pernafasan tidak teratur, nadi tidak teratur, sedangkan tekanan darah tidak berubah, seperti biasa. (Oswari, 2000; 35).


D. Manifestasi klinis

Kelenjar limfoma cenerung teraba kenyal, seperti karet, saling berhubungan, dan tanpa nyeri. Kelenjar pada karsinoma metastatik biasanya keras, dan terfiksasi pada jaringan dibawahnya. Pada infeksi akut teraba lunak, membengkak secara asimetrik, dan saling berhubungan, serta kulit di atasnya tampak erimatosa.

(Harrison, 1999; 370).



E. Pemeriksaan penunjang

1. Hitung darah lengkap.

2. Biakan darah.

3. Foto rontgen.

4. Serologi.

5. Uji kulit.

(Harrison, 1999; 372).



F. Penatalaksanaan medis dan bedah

Biopsi kelejar limfe.

(Harrison, 1999; 372).




G. Dasar data pengkajian Pasien

Aktivitas / istirahat

Gejala : Kelelahan, kelemahan, atau malaise umum.

Kehilangan produktivitas dan penurunan toleransi latihan.

Kebutuhan tidur dan dan istirahat lebih banyak.

Tanda : Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban, dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan.

Sirkulasi

Gejala : Palpitasi, angina / nyeri dada.

Tanda : Takikardia, disrutmia.

Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang).

Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obstruksi duktus empedu oleh pembesan nodus limfe (mungkin tanda lanjut).

Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.

Integritas ego

Gejala : Faktor stres, mis ; sekolah, pekerjaan, keluarga.

Takut/ansietas sehubungan dengan diagnosis dan kemungkinan takut mati.

Anseitas/takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi)

Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu bekerja.

Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan dengan menjadi orang yang tergantung pada keluarga.

Tanda : berbagai perilaku, mis ; marah, menarik diri, pasif.

Eliminasi

Gejala : Perubahan karakteristik urine dan/ atau feses.

Riwayat obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorpsi (infiltrasi dari nudos limfa retroperitonial).

Tanda : Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hematomegali).

Nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali).

Penurunan haluaran urine, urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretral/ gagal ginjal).

Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut).

Makanan / Cairan

Gejala : Anoreksia/kehilangan nafsu makan.

Disfagia ( tekanan pada esofagus )

Adanya penurunan berat badan yang tak dapat tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.

Tanda : pembengkakan pada wajah, leher, rahang, atau tangan kanan ( sekunder terhadap kompresi vena kava superioroleh pembesaran nodus limfe).

Ekstrimitas: edema ekstrimitas bawah sehubungan dengan obstruksi vena kava inferior dari pembesaran nodus limfe intraabdominal ( non-Hodgkin).

Asites ( obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraab-dominal).

Neurosensori


Gejala : Nyeri syaraf ( neuralgia ) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan, pleksus sakral.

Kelamahan otot, parestesia

Tanda : Status mental: letargi, menarik diri, kurang minum terhadap sekitar.

Paraplegia ( kompresi batang spinal dari tubuh vetebral, keterlibatan diskus pada kompresi/ degenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batang spinal).

Nyeri / Kenyamanan

Gejala : Nyeri tekan / nyeri pada nodus limfa yang terkena, mis; pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung ( kompresi vertebral ) ; nyeri tulang umum ( keterlibatan tulamg limfomatus )

Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.

Tanda : Fokus pada diri sendiri; perilaku berhati – hati.

Pernafasan

Gejala : Dispnea pada kerja atau istirahat; nyeri dada.

Tanda : Dispnea; takikardia

Batuk kering non-produktif.

Tanda distres pernafasan, contoh peningkatan frekuensi pernapasan dan kedalaman, penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.

Parau/ paralisis laringeal(tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal).

Keamanan

Gejala : Riwayat sering/adanya infeksi ( abnormalitas imunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sismetik, TB, toksoplasmosis, atau infeksi bakterial ).

Riwayat mononukleus ( resiko tinggi penyakit hodgkin pada pasien dengan titer tringgi virus Espstien – Barr ). Riwayat ulkus / perforasi perdarahan gaster.

Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari berakhir sampai beberapa minggu ( demam pel – Ebstain ) diikuti oleh periode demam; keringat malam tanpa mengigil.

Kemerahan/ pruritus umum.

Tanda : Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 380 C tanpa gejala infeksi.

Nodus limfe simetris, tak nyeri, membenkak / membesar ( nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan kanan; kemudian nudos aksila dan mediastinal )

Nudus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.

Pembesaran tonsil.

Pruritus umum.

Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin ( vitiligo )

Seksualitas

Gejala : Masalah tentang fertilitas / kehamilan ( sementara penyakit tidak mempengaruhi ).

Tetapi penurunan libido.

Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : Faktor resiko keluarga ( lebih tinggi insiden diantara keluarga pasien Hodgkin dari pada populasi umum ).

Pekerjaan terpajan pada herbisida ( pekerja katu / kimia ).

Pertimbangan DRG

menunjukkan rerata lama dirawat 3,9 hari, dengan intervensi bedah, 10,1 hari.

Rencana pemulangan :

Dapat memerlukan bantuan terapi medik / suplai, aktivitas perawat diri dan/atau pekerjaan rumah / transportasi, belanja.

( Doengos,1999; 605-607 )

H. Pathway dan masalah keperawatannya


Peradangan

Pembuluh darah

Cairan iterstisial ke saluran limfe jaringan

Peningkatan pada aliran limfe

Lapisan sel pembatas meregang

Kelenjar limfe membesar

Bahan interstisial yang masuk lebih banyak

Agen penyebab cidera terbawa cairan limfe

Pembuluh darah

Keseluruh tubuh

Penyebaran agen yang menular

Operasi/biopsi

Intoleransi aktifitas



Pembiusan biopsi



Pernafasan tidak teratur Mati rasa Kelemahan umum

Nyeri


Neuromuskular Dilakukan sayatan



Pembuluh darah Kulit terbuka

Resiko kekurangan volume cairan

Pola nafas tidak efektif

Resiko infeksi




Oeswari, 2000

Price, 1995

Harrison, 1999


I. Fokus intervensi.

1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Tujuan: Mencapai penyembuhan tepat waktu,bebas drenase purulen atau eritema dan tidak demam ( doengos, 1999; 796 – 797 )

Interensi :

- Tingkatkan cuci tangan yang baik pada setaf dan pasien.

- Gunakan aseptik atau kebersinan yang ketet sesuai indikasi untuk menguatkan atau menganti balutan dan bila menangani drain.insruksian pasien tidak untuk menyentuh atau menggaruk insisi

- Kaji kulit atau warna insisi. Suhu dan integrits: perhatikan adanya eritema /inflamasi kehilangan penyatuan luka.

- Awasi suhu.adanya menggigil.

- Dorong pemasukan cairan,diey tinggi protein dengan bentuk makanan kasar.

- Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi


Rasional :

- Menurunkan resiko kontaminasi silang.

- Mencegah kotaminasi dan resiko infeki luka,dimana dapat memerlukan post prostese.

- Memberikan informasi trenteng status proses penyembuhan dan mewaspadakan staf terhadap dini infeksi.

- Meskipun umumnya suhu meningkatpdad fase dini pasca operasi dan/atua adanya menggigil biasanya mengindikasikan terjadinya infeksi memerlukan inetrvensi untuk mencegah komplikasi lebih serius.

- Mempertahankan keseimbangan cairan dan nutrisi untuk mendukung perfusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan penyembuhan jaringan.

- Mungkin berguna secara profilaktik untuk mencegah infeksi.

2. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot.

Tujuan: mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol / hilang.

( doengos, 1999; 915 – 917 )

Intervensi :

- Evaluasi rasa sakit secara regular (mis, setiap 2 jam x 12 ), catat karakteristik, lokasi n intensitas ( skala 0-10 ).

- Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi.

- Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesui kebutuhan

- Lakukan reposisi sesui petunjuk, misalnya semi - fowler; miring.

- Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.

- Berikan perwatan oral reguler.

Rasional:

- Sediakan informasi mengenai kebutuhan / efektifitas intervensi. Catatan: sakit kepala frontal dan / atau oksipital mungkin berekembang dalam 24-72 jam yang mengikuti anestesi spinal, mengharuskan posisi terlentang, peningkatan pemasukan cairan, dan pemberitahuan ahli anestesi.

- Ketidaknyamanan mungkin disebabkan / diperburuk dengan penekanan pada kateter indwelling yang tidak tetap, selang NG, jalur parenteral ( sakit kandung kemih, akumulasi cairan dan gas gaster, dan infiltrasi cairan IV/ medikasi.

- Pahami penyebab ketidaknyamanan ( misalnya sakit otot dari pemberian suksinilkolin dapat bertahan sampai 48 jam pasca operasi, sakit kepala sinus yang disosialisasikan dengan nitrus oksida dan sakit tenggorok dan sediakan jaminan emosional. Catatan: peristasia bagian-bagian tubuh dapat menyebabkan cedera saraf. Gejala – gejala mungkin bertahan sampai berjam-jam atau bahkan berbulan – bulan dan membutuhkan wevaluasi tambahan.

- Mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi – Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan oto punggung artritis, sewdangkan miring mengurangi tekanan dorsal.

- Lepaskan tegangan emosional dan otot; tingkatkan perasaan kontrol yang mungkin dapat meningkatkan kemam puan koping.

- Mengurangi ketidaknyamanan yang di hubungkan dangan membaran mukosa yang kering pada zat – zat anestesi, restriksi oral.


3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neouromuskular, ketidak imbangan persptual.

Tujuan: Menetapkan pola nafas normal / efektif dan bebas dari sianosis dan tanda – tanda hipoksai lain. ( doengos, 1999; 911 – 912 )

Intervensi:

- Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hipereksentensi rahang, aliran udara feringeal oral.

- Obserefasi dan kedalamam pernafasan, pemakaian otot – otot bantu pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernafasan cuping hidung, warna kulit dan aliran udara.

- Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernafasan dan jenis pembedahan.

- Observasi pengembalian fungsi otot terutama otot pernafasan.

- Lakukan penghisapan lendir jika perlu.

- Kaloborasi: berikan tambahan oksigen sesui kebutuhan.

Rasional:

- Mencegah obstruksi jalan nafas.

- Dilakukan untuk memastikan efektivitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.

- Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendoromg ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.

- Setekah pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa intra operatif pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada difragma, otot – otot interkostal, dan laring yang akan diikuti dengan relaksasi dengan relaksasi kelompok otot – otot utma seperti leher, bahu, dan otot – otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang seperti lidah, paring, otot – otot ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut, wajah dan jari – jari tangan.

- Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena danya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea.

- Dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang mengantikan tempat gas anestesi dan mendorng pengeluaran gas tersebut melalui zat – zat inhalasi.


4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah.

Tujuan: Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat, sebagaimana ditunjukkan dengan tanda – tanda vital yang stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan pengeluaran urine yang sesui. . ( doengos, 1999; 913 – 915 )


Intervensi:

- Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran ( termasuk pengeluaran gastrointestinal ).

- Kaji pengeluaran urinarus, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.

- Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan. Misalnya privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak, mengalirkan air hamgat diatas perineum.

- Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.

- Periksa pembalut, alat drein pada intrval reguler. Kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.

- Kalaborasi: Berikan cairan pariental, pruduksi darah dean / atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.

Rasional:

- Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/ kebutuhan pemggantian dan pilihan – pilihan yang mempengaruhi intervensi.

- Mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelah prosedur pada sistem genitourinarius dan / atau struktur yang berdekatan.

- Meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya pengosongan.

- Wanita, pasien dengan obesitas, dan mereka yang memiliki kecenderungan mabuk perjalanan penyakit memiliki resiko mual/ muntah yang lebih tinggi pada masa pasca operasi. Selain itu, semakin lama durasi anestesi, semakin resiko untuk mual, catatan: Mual yang terjadi selama 12 –24 jam pasca operasi umumnya dibangunkan dengan anestesi( termasuk anestesi regional ),. Mual yang bertahan lebih dari 3 hari pasca operasi mungkin dihubungkan dengan pilihan narkotik untuk mengontrol rasa sakit atau tr erap oabt – abatan lainnya.

- Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia / hemoragi. Pembengkakan lokal mungkin mengindikasikan formasi hematoma/ perdarahan.

- Gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggantian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan.




5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Kelemahan umum; penurunan kekuatan / ketahanan; nyeri.

Tujuan: Menunjukkan teknik / perilaku yang mampu memampukan kembali melakukan aktivitas. . ( doengos, 1999;536 – 537 )


Intervensi:

- Tingkatkan tirah baring / duduk. Berikan linkungan tenang; batasi pengunjung sesui keperluan.

- Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.

- Tingkatkan aktivitas sesui toleransi, bantu melakukan latihan rentang gerak sensipasi/ aktif.

- Dorong penggunaan teknik menejemen stres. Contoh relaksasi progresif, vissualisasi bimbing imajinasi. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton Tv, radio, dan membaca.

- Berikan obat sesui indikasi, Sedatif, agen antiansietas, contoh Diazepam ( valium ), Lorazepam ( ativam ).

Rasional:

- Meningkatkan istirahat dan ketenangan. Menyipan energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dengan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah kaki yang mencegah sirkulasi optimal kesel hati.

- Meningkatkan fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.

- Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.

- Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian, dan meningkatkan koping.

- Membantu dalam menejemen kebutuhan tidur, catatan: Penggunaan Barbiturat dan Tranguilizer seperti Compazine dan Thorazine, dikontra indikasikan sehubungan dengan efek hepatotoksik. 

Wednesday, June 2, 2021

FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

 

FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF 
 
(Sumber: Ratnaningtyas, Yulia.2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Ekskusif. Jakarta: Tesis Universitas Respati Indonesia.) 
 
2.1       Air Susu Ibu

2.1.1    Pengertian Air Susu Ibu

            ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan alamiah yang ideal untuk bayi, terutama pada bulan-bulan pertama. ASI adalah makanan yang tidak bisa dibandingkan dengan susu formula atau makanan buatan apapun. ASI mengandung zat kekebalan (kolostrum) yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit (Ransum, 2011)

                        ASI merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai yang paling inggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat manusia aaupun susu hean seperti sapi, susu kerbau dan lain–lainnya. Air susu ibu sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi, kesehatan maupun ekonomi. Hal ini banyak terlihat dari berbagai negara atau wilayah dimana hygiene lingkungan belum memadai disamping makanan bayi pengganti air susu ibu tidak tersedia ataupun harganya sangat mahal dan tidak terjangkau oleh daya beli penduduk pada umumnya (Suhardjo, 1992). Air susu ibu merupakan makanan terbaik ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi bayi yang baru dilahirkan. Makanan–makanan tiruan bagi bayi yang diramu menggunakan teknologi masa kini, ternyata tidak mampu menandingi keunggulan ASI. Sebab ASI mempunyai nilai gizi paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun susu yang berasal dari hewan seperti susu sapi, kerbau atau kambing (Khasanah, 2011).

2.1.2    Fisiologi ASI

            Menurut Arisman (2010), jaringan yang menyusun kelenjar susu ada 2 macam yaitu jaringan kelenjar dan jaringan penopang. Jaringan kelenjar berisi banyak kantong alveolus yang dikelilingi oleh jaringan epitel otot yang bersifat kontraktil. Bagian dalam alveolus yang dikelilingi oleh selapis epitel. Susu dibentuk pada epitel kelenjar ini. Persiapan untuk bereproduksi berlangsung selama kehamilan sehingga kelenjar susu membesar sampai 2-3 kali ukuran normal.

Air susu terbentuk melalui 2 fase, yaitu fase sekresi dan pengaliran. Laktasi diawali oleh dua macam reflek, yaitu the milk production reflex dan the let down reflex. Pada saat bayi menghisap putting susu, serangkaian impuls akan menuju medulla spinalis lalu ke otak dan menyusup ke dalam kelenjar hipofisis sehingga memicu sekresi oksitosin pada bagian posterior hipofisis. Adanya oksitosin menyebabkan kontraksi sel-sel epitel otot polos yang membungkus alveolus sehingga air susu yang terkandung di dalamnya tersembur ke duktus dan sinus.

2.1.3    Volume Air Susu Ibu

                        Selama beberapa bulan terakhir masa kehamilan terdapat produksi susu ibu. Setelah lahir bayi mulai menghisap maka suplai air susu meningkat dengan cepat. Pada keadaan normal, sekitar 100 ml tersedia pada hari kedua dan ini meningkat menjadi 500 ml pada minggu kedua. Produksi ASI yang paling efektif biasanya dicapai pada 10–14 hari setelah melahirkan. Selama beberapa bulan selanjutnya, bayi yang sehat mengkonsumsi sekitar 700–800 ml pe 24 jam. Namun demikian konsumsi bayi bervariasi antara satu dengan yang lainnya, ada yang mengkonsumsi 600 ml atau kurang dan ada pula yang lebih bahkan sampai satu liter selama 24 jam meskipun keduanya mempunyai laju pertumbuhan yang sama. Faktor emosi seperti stress atau sangat sedih sangat berpengaruh terhadap produksi air susu selama minggu–minggu pertama periode  menyusui.

                        Pada ibu–ibu yang kurang kurang asupan nutrisi, volume air susu dijumpai kira–kira 500–700 ml per hari selama enam bulan pertama, 400–600 ml dalam enam bulan kedua dan 300–500 ml dalam tahun kedua. Produksi air susu pada ibu–ibu yang terkena gizi kurang dapat sangat kecil sekali bahkan tidak keluar sama sekali, sehingga keadaan demikian akan berpengaruh fatal pada bayinya. Di wilayah dimana ibu–ibunya kekurangan pangan biasa dijumpai bayi–bayi yang mengalami marasmus dini pada masa enam bulan pertama kehidupannya, khususnya mereka yang hanya memperoleh ASI. Pada keadaan normal, ASI mampu memberikan zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan bayi sampai umur enam bulan. Namun demikian sebagaimana diuraikan sebelumnya, terdapat variasi dalam hal kebutuhan bayi dan kemampuan produksi ASI. Oleh karena itu untuk mengetahui cukup tidaknya ASI tidak dapat hanya menggunakan ukuran volume atau banyaknya ASI. Tanda–tanda lapar atau kepuasan anak khususnya laju pertumbuhan berat badan merupakan indicator yang lebih baik untuk mengetahui cukup tidaknya ASI (Khasanah, 2011)

2.1.4    Jenis ASI Berdasarkan Waktu Produksi

Berdasarkan waktu produksi, ASI dapat dibagi menjadi 3 jenis. Diantaranya adalah sebagai berikut (Khasanah, 2011) :

a.         Kolostrum

Kolostrum merupakan cairan pertama ASI yang keluar berwarna kekuning–kuningan (lebih kuning dibandingkan susu mature), agak kental dan kasar yang muncul segera setelah melahirkan. Kolostrum terasa agak kasar karena mengandung butir–butir lemak, bekas–bekas epitel, leukosit dan limfosit. Atau dengan kata lain kolostrum adalah cairan pelancar dan pembersih saluaran–saluran ASI. Kolostrum keluar pada hari 1-4 dengan komposisi yang selalu berubah dari hari ke hari. Jumlah kolostrum yang dikeluarkan sangat bervariasi berkisar 10-100 ml/hari dengan rata–rata sekitar 30 ml atau sekitar 3 sendok makan. Kandungan dan manfaat kolostrum dapat dilihat pada table 2.1

Tabel 2.1 Kandungan dan Manfaat kolostrum

Kandungan kolostrum

Manfaat kolostrum

·      Antibody

Melindungi bayi terhadap infeksi dan alergi

·      Sel darah putih

Melindungi bayi terhadap infeksi

·      Pencahar

Membersihkan air ketuban dan membantu mencegah bayi kuning

·      Faktor–faktor pertumbuhan 

Membantu usus bayi berkembang lebih matang, mencegah alergi dan keadaan intoleransi

·      Vitamin A

Mengurangi keparahan infeksi, mencegah penyakit mata pada bayi

Sumber : Khasanah 2011

 

b.        Air Susu Masa Peralihan (Masa Transisi)

ASI masa transisi merupakan peralihan dari ASI kolostrum sampai menjadi ASI mature. ASI transisi diproduksi pada hari ke 4-14. Pada masa ini kadar protein berkurang, sedangkan karbohidrat dan lemak serta volumenya semakin meningkat.

c.         ASI Matur

ASI matur adalah ASI yang diproduksi sejak hari keempat belas dan seterusnya. ASI matur merupakan nutrisi bayi yang terus  berubah disesuaikan dengan perkembangan bayi sampai usia 6 bulan. Setelah 6 bulan ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi sehingga mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI.

2.1.5    Komposisi Air Susu Ibu

                        ASI mengandung zat–zat gizi yang dibutuhkan dalam 6 bulan pertama kehidupan. ASI juga mengandung bioaktif faktor yang dapat mencegah infeksi dan membantu pencernaan dan penyerapan zat gizi (WHO, 2010).

1.                  Air

Keberadaan air dalam tubuh adalah sangat sangat vital dan tanpa adanya air akan terjadi dehidrasi, 88% dari ASI terdiri dari air yang kegunaannya melarutkan zat-zat yang terdapat dalam ASI. Perbandingan air dan unsur-unsur nutrisi dalam ASI sangat seimbang. Oleh karena itu, ASI adalah makanan yang paling sempurna untuk bayi. Dan air sangat relative tinggi pada ASI akan meredakan rangsangan haus pada bayi.

2.                  Lemak

Lemak ASI merupakan lemak yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi karena mengandung jumlah lemak yang sehat dan tepat secara proposional. Enzim lipase menyebabkan lemak pada ASI mudah dicerna dan diserap oleh bayi. Lemak utama ASI adalah lemak ikatan panjang yang mengandung omega-3, omega-6, DHA, ARA. Lemak berikatan panjang tersebut penting untuk pertumbuhan syaraf dan pertumbuhan otak.

                        Lemak pada ASI juga mengandung kolesterol yang berguna untuk meningkatkan pertumbuhan  otak bayi. Pada saat pertumbuhan otak yang cepat, diperlukan kadar kolesterol yang tinggi. Kolesterol dalam ASI juga berfungsi dalam pembentukan enzim untuk metabolism kolesterol yang berfungsi untuk membantu enzim metabolism kolesterol sehingga dapat mencegah arteriosclerosis pada usia muda (Roesli,2000).

3.                  Karbohidrat

Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam ASI. 100 ml ASI mengandung 7 gr laktosa atau 20-30 % lebih banyak dari pada susu sapi. Laktosa dipelukan untuk pertumbuhan otak, makin tinggi kadar laktosa pada susu mamalia, maka makin besar juga ukuran otaknya. ASI mengandung kadar laktosa yang paling tinggi dibandingkan susu mamalia lain.

Karbohidrat dalam ASI juga dapat mencegah infeksi lewat peningkatan pertumbuhan bakteri baik usus, lactobacillus bifidus dan menghambat bakteri berbahaya dengan cara fermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga menyebabkan suasana lambung menjadi asam dan menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya.

4.                  Protein

ASI memiliki kandungan protein yang berbeda dari susu mamalia lainnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. ASI mengandung asam amini seimbang yang cocok untuk bayi. Dalam 100 ml ASI terdapat 0,9 gr protein, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan protein pada mamalia lainnya. Kelebihan protein dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal bayi. ASI mengandung protein khusus yang dirancang untuk tumbuh kembang bayi manusia.

ASI mengandung protein whey dan casein. Whey adalah protein yang halus, lembut dan mudah dicerna sedangkan casein adalah protein yang bentuknya kasar, menggumpal dan sudah dicerna. Perbandingan antara whey dan casein dalam ASI adalah 60:40. Sedangkan pada susu sapi 20:80. ASI mengandung alfa lactalbumin sedangkan susu sapi mengandung beta lactoglobulin yang sering menyebabkan alergi.

Selain alfa lactalbumin, protein unik yang dimiliki ASI dan tidak terdapat dalam susu formula adalah taurin, lactoferin dan lysosom. Taurin diperlukan untuk perkembangan otak, sususan saraf dan pertumbuhan retina. Selain taurin, protein unik yang ada dalam ASI adalah lactoferin. Lactoferin membiarkan bakteri usus baik yang menghasilkan vitamin untuk tumbuh dan menghancurkan bakteri yang jahat. Lisosom merupakan antibiotik alami dalam ASI yang dapat menghancurkan bakteri berbahaya (Roesli, 2000).

5.                  Vitamin dan Mineral

ASI mengandung vitamin yang cukup untuk bayi. Walaupun ibunya mengalami defisiensi vitamin. Mineral berupa besi (Fe) dan zinc terdapat di ASI dalam jumlah sedikit, tetapi dengan bioavailibilitas dan penyerapan tinggi.

6.                  Kolostrum

Segera setelah melahirkan ASI yang keluar berwarna kekuning–kuningan, kental dan agak lengket. Air susu ini disebu kolostrum dan ini diproduksi dalam masa kira – kira seminggu pertama. Kemudian setelah itu air susu yang diproduksi berwarna putih dalam hal :

a.             Lebih banyak protein

b.             Lebih banyak immunoglobulin A dan laktoferin dan juga sel – sel darah putih yang berperan penting dalam mencegah timbulnya infeksi penyakit.

c.             Kurang dalam hal lemak dan lactose

d.            Lebih banyak vitamin A

e.             Lebih banyak natrium dan seng

2.1.6    Manfaat Air Susu Ibu

2.1.6.1 Manfaat ASI Bagi Anak

a.                   Gizi terbaik untuk anak

ASI secara khusus disesuaikan dengan kebutuhan bayinya. Komposisi ASI dari seorang ibu yang melahirkan bayi premature berbeda dengan komposisi ASI pada ibu yang melahirkan secara normal. Komposisi ASI juga disesuaikan dengan tubuh kembang bayi. ASI memiliki komposisi yang berbeda ditiap tahap perkembangan. Hal ini merupakan bentuk adaptasi zat – zat gizi yang dibutuhkan di awal kehidupan.

                        ASI yang keluar saat pertama kelahiran sampai hari ke 4-7 berbeda komposisinya dengan ASI transisi yang keluar di hari ke 4 atau 7 sampai hari ke 14. Bahkan ASI rmengalami perubahan komposisi dari menit ke menit. ASI yang keluar pada menit pertama disebut foremilk sedangkan ASI yang keluar saat aktif menyusui disebut hindmilk.

                        ASI memiliki zat gizi ideal yang komposisinya disesuaikan dengan kebutuhan bayi. ASI merupakan makanan yang sempurna baik secara kuantitas maupun kualitas. Kebutuhan bayi selama 6 bulan sudah tercukupi dengan hanya mengkonsumsi ASI. Setelah 6 bulan bayi harus mulai diberi makanan padat , namun pemberian ASI dapat diteruskan sampai umur 2 tahun.

b.                  Meningkatkan Daya tahan tubuh

Kemampuan bayi untuk membentuk zat antibodi yang banyak ada umur 9-12 bulan. Saat baru lahir kekebalan bayi belum mencukupi. Untuk itu bayi perlu diberikan ASI untuk mengatasi kesenjangan antibodi. ASI mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur.

Pada awal kelahiran, kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih tinggi dari susu matang. Zat ini melindungi bayi dari penyakit diare. ASI juga menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk dan alergi. Hal inilah yang menyebabkan bayi yang diberikan ASI eksklusif lebih sehat dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

c.                   Meningkatkan kecerdasan

Pada awal masa perkembangan, bayi membutuhkan zat gizi yang dibutuhkan untuk optimalisasi fungsi jaringan otak. Bila bayi menderita kurang gizi kronis pada masa pertumbuhan otak di awal kelahiran, maka akan terjadi pengurangan jumlah sel otak sebanyak 15-20%.

ASI dilengkapi dengan zat–zat gizi yang berguna untuk pertumbuhan otak dan tidak didapatkan pada susu formula yaitu taurin, laktosa dan asam lemak ikatan panjang. Selain itu ASI juga mengandung 400 zat gizi yang tidak ada dalam susu formula. ASI merupakan susu terbaik untuk pertumbuhan otak anak. Sebuah studi pada bayi premature di Inggris menunjukkan bahwa bayi premature yang diberikan ASI memiliki Intelectual Question (IQ) lebih tinggi 8,3 poin dibandingkan bayi yang tidak diberikan ASI. ASI juga dapat meningkatkan kecerdasan emosional. Pada saat menyusui terjadi transfer emosi dan kasih saying dari ibu ke bayi. Hal ini akan menyebabkan bayi merasa aman dan nyaman karena merasa dilindungi. Hal ini akan menstimulasi anak untuk menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki stabilitas emosi. ASI juga melatih bayi untuk berhubungan dengan manusia lainnya lewat peristiwa menyusui. Hal ini akan membuat bayi terbiasa berhubungan dengan manusia lain dan mendorong bayi adaptif terhadap lingkungan keika dewasa (Roesli, 2000).

d.                  Mencegah Penyakit Degeneratif

Penelitian yang dilakukan di United State pada remaja berusia 9-14 tahun menunjukkan bahwa remaja yang kecilnya diberikan ASI eksklusif memiliki risiko obesitas 22% lebih rendah dibandingkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif. Obesitas akan meningkatkan risiko terkena penyakit tidak menular seperti jantung, diabetes dan stroke.

2.1.6.2 Manfaat ASI bagi Ibu

            a.         Mengurangi Perdarahan Setelah Melahirkan

                        Pada ibu yang menyusui terjadi peningkatan hormone oksitosin yang berguna untuk menutup pembuluh darah sehingga perdarahan akan cepat berhenti. Sebagian besar kematian post natal pada ibu terjadi karena perdarahan. Oleh karena itu, menyusui dapat menurunkan angka kematian ibu yang melahirkan.

            b.         Mengurangi Risiko Terjadinya Anemia

                        Aktivitas menyusui menyebabkan kontraksi pada otot polos yang menyebabkan uterus mengecil dan kembali ke bentuk normal. Gerakan mengecilnya uterus akan mengurangi risiko perdarahan. Perdarahan secara terus menerus dapat menyebabkan anemia.

c.                   Menjarangkan Kehamilan

Menyusui secara intensif dan benar dapat menjadi alternatif kontrasepsi alami bagi ibu karena masa subur ibu dapat tertunda. Selama ibu member ASI dan belum haid, 98 % tidak akan hamil pada 6 bulan pertama setelah melahirkan dan 96 % tidak hamil sampai bayi berusia 12 bulan (Roesli, 2000).

d.                 Mengecilkan Rahim

Proses menyusui membuat hormon oksitosin meningkat sehingga dapat mempercepat proses pengecilan uterus.

e.                  Lebih Cepat Ramping

Tubuh mengubah lemak yang tertimbun selama hamil menjadi energi. Saat menyusui dibutuhkan energi yang cukup. Dengan demikian berat badan ibu yang menyusui akan lebih cepat kembali ke berat badan sebelum hamil (Roesli, 2000).

f.                   Mengurangi Risiko Kanker

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menyusui akan mengurangi kemungkinan terjadinya kanker payudara. Angka kejadian kanker akan berkurang 25% jika memberikan ASI eksklusif dan menjalankannya sampai umur 2 tahun. Menyusui juga dapat melindungi ibu dari risiko kanker indung telur sebesar 20-25% (Roesli, 2000). Menyusui juga mengurangi risiko kanker indung payudara. Penelitian di 6 negara berkembang menunjukkan bahwa minimal 20% ibu yang menyusui terhindar dari kanker payudara. Menyusui dapat mengurangi isiko kanker payudara dan ovarium pada wanita pra-menopause.

            g.         Lebih Ekonomis

                        Memberikan ASI berarti menghemat pengeluaran untuk susu formula.

2.1.6.3 Manfaat ASI Bagi Negara

                        Kemajuan suatu Negara ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM). Gizi merupakan faktor yang menentukan kualitas SDM. Zat gizi yang cukup pada masa bayi dan perkembangan anak sangat dibutuhkan untuk memastikan tumbuh kembang anak sehingga potensi anak dapat berkembang dan dapat menjadi sumber daya manusia strategis bagi pembangunan bangsa. Zat gizi pada awal kehidupan menyebabkan efek jangka panjang pada status kesehatan bayi. Malnutrisi pada 2 tahun kehidupan bayi menyebabkan stunting, penurunan IQ dan kapasitas kerja. Oleh karena itu, untuk membentuk SDM yang sehat, pada masa awal pertumbuhan bayi sangat membutuhkan ASI eksklusif sebagai asupan gizi yang paling baik.    

2.1.7    Faktor – faktor yang Mempengaruhi Produksi ASI

            a.         Makanan Ibu  

                        Makanan yang dimakan seorang ibu yang sedang menyusui secara langsung mempengaruhi mutu ataupun jumlah air susu yang dihasilkan. Dalam tubuh terdapat cadangan berbagai zat gizi yang dapat digunakan bila sewaktu – waktu diperlukan. Akan tetapi jika makanan ibu terus – menerus tidak mengandung cukup zat gizi yang diperlukan tentu pada akhirnya kelenjar – kelenjar pembuat ASI tidak akan dapat bekerja dengan sempurna sehingga berpengaruh terhadap produksi ASI (Siregar, 2004). Unsur gizi dalam 1 liter ASI setara dengan unsur gizi yang terdapat dalam 2 piring nasi ditambah 1 butir telur. Jadi diperlukan energi yang sama dengan jumlah energi yang diberikan 1 piring nasi untuk membuat 1 liter ASI. Agar ibu menghasilkan 1 liter ASI berkualitas diperlukan makanan tambahan di samping untuk keperluan diri ibu sendiri, yaitu sama dengan 3 piring nasi dan 1 butir telur. Apabila ibu yang sedang menyusui bayinya tidak mendapat tambahan makanan, maka akan terjadi kemunduran dalam produksi ASI. Terlebih jika pada masa kehamilan ibu juga mengalami kekurangan gizi. Oleh karena itu tambahan makanan bagi seorang ibu yang sedang menyusui mutlak diperlukan. Disamping bahan makanan sumber protein seperti ikan, telur dan kacang-kacangan, bahan makanan sumber vitamin juga diperlukan untuk menjamin kadar berbagai vitamin dalam ASI.

Untuk mendapatkan asupan gizi seimbang ibu dapat mengkonsumsi kelompok makanan berikut :

1.                   Kelompok nasi, roti gandum dan sereal enam porsi sehari

2.                   Kelompok sayuran 3-5 porsi sehari

3.                   Kelompok buah 2-4 porsi perhari

4.                   Kelompok ikan daging, unggas, kacang 2-3 porsi sehari

5.                   Kelompok susu, yoghurt dan keju 2-3 porsi sehari

            b.         Kondisi Psikologis Ibu

                        Faktor kejiwaan sangat berpengaruh dalam produksi ASI. Perasaan gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan dan berbagai bentuk ketegangan emosional dapat menyebabkan kegagalan dalam menyusui beyinya. Keadaan ini mempengaruhi pengeluaran hormon prolaktin dan oksitosin (Roesli, 2000).

            c.         Jenis Persalinan

                        Pada persalinan normal proses menyusui dapat segera dilakukan setelah bayi lahir. Biasanya ASI sudah keluar pada hari 1-3 setelah persalinan. Sedangkan pada persalinan dengan tindaka sectio caesaria seringkali ibu kesulitan dalam menyusui bayinya segera setelah lahir.  

            d.         Frekuensi Menyusui

                        Frekuensi menyusui dapat mempengaruhi produksi ASI. Semakin sering menyusui akan semakin meningkatkan produksi ASI. Oleh karena itu berikan ASI sesering mungkin sesuai keinginan bayi (Khasanah,2011). Berdasarkan hasil penelitian produksi ASI akan optimal ketika ibu menyusui bayinya 8 kali atau lebih per hari selama 1 bulan awal menyusui.

            f.          Umur Kehamilan

                        Bayi yang lahir prematur atau bayi yang lahir belum cukup bulan kadang belum dapat menyusu secara efektif. Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan tidak mampu menghisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah dari pada bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan menghisap pada bayi prematur  dapat disebabkan oleh berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ tubuh bayi. Akibatnya ketika rangsangan menyusu berkurang produksi ASI otomatis juga berkurang.

            g.         Berat Lahir

                        Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan menghisap ASI yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang berat lahir normal (bayi yang lahir lebih dari 2500 gram). Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah memiliki kemampuan menghisap ASI, frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibandingkan bayi berat lahir normal yang pada akhirnya akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi ASI (Khasanah,2011).

            h.         Perawatan Payudara

                        Perawatan payudara dimulai sejak kehamilan 7-8 bulan. Perawatan payudara menjelang masa laktasi perlu dilakukan, yaitu dengan mengurut. Pengurutan diharapkan apabila terdapat penyumbatan dapat dihindarkan sehingga pada saatnya ASI akan keluar dengan lancar.

i.                    Dukungan suami dan keluarga sangat membantu berhasilnya seorang ibu untuk menyusui. Perasaan ibu yang bahagia akan mempengaruhi ketenangan dan ketentraman sehingga akan meningkatkan pengeluaran ASI.

 

2.1.8    Penyebab ASI Sulit Keluar Setelah Melahirkan

1.         Terdapat bagian plasenta yang tertinggal setelah melahirkan sehingga bagian          plasenta menyebabkan pendarahan. Bagian plasenta yang tertinggal dapat diketahui melalui pemeriksaan USG sehingga dokter dapat melakukan tindakan agar produksi ASI tidak terhambat lagi

2.         Ibu yang melahirkan dengan operasi akan tetapi tidak terencana akan menyebabkan kesulitan dalam mengeluarkan ASI. Sehingga keluar ASI membutuhkan waktu lebih lama. Tetapi ada kolostrum yang keluar sebelum produk ASI lancer.

3.         Payudara ibu mengalami bengkak sehingga mengganggu produksi ASI

Apabila sudah 3 hari setelah persalinan ASI tetap tidak keluar lakukan konsultasi dengan dokter untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

2.1.9    Tanda Bayi Cukup ASI

                        Menurut Mulyani (2013), tanda-tanda bayi dikatakan cukup ASI antara lain :

1.                   Bayi minum ASI 2-3 jam setiap hari dan mendapatkan ASI 8-10 kali

2.                   Buang air besar berwarna kuning dengan frekuensi sering

3.                   Bayi buang air kecil minimal 6-8 kali sehari

4.                   Ibu dapat mendengarkan saat bayi menelan ASI

5.                   Payudara terasa lembek yang menandakan ASI telah habis

6.                   Pertumbuhan berat badan dan tinggi badan sesuai dengan grafik pertumbuhan

7.                   Bayi menyusu dengan kuat, kemudian melemah dan bayi tertidur pulas

2.1.9    Cara Perawatan Payudara

                        Perawatan payudara dimulai pada masa kehamilan dan saat menyusui. Ibu yang mempunyai masalah kelainan puting susu misal puting susu datar / masuk ke dalam perawatan payudara dilakukan pada usia kehamilan 3 bulan, apabila tidak ada masalah perawatan payudara dilakukan mulai usia kehamilan 6 bulan sampai menyusui. Tujuan perawatan payudara untuk memelihara kebersihan payudara, memperbanyak dan memperlancar ASI (Rukiyah,2011).

                        Menurut Rukiyah (2011), tenaga kesehatan khususnya bidan dapat mengajarkan ibu cara perawatan payudara dan perawatan tersebut dapat dilakukan ibu sendiri. Cara perawatan payudara dapat dilakukan selama masa menyusui dengan cara :

a.                   Ibu mengatur posisi senyaman mungkin

b.                   Ibu mengeringkan payudara setelah menyusui, untuk mencegah lecet oleskan sediikit ASI ke puting sebelum dan sesudah menyusui kemudian dikeringkan. Lecet pada puting tidak berbahaya.

c.                   Jika ibu mengalami mastitis / tersumbatnya saluran ASI, dianjurkan ibu tetap memberikan ASI

Menurut Rukiyah (2012), teknik perawatan payudara antara lain :

1.                   Pengurutan Payudara

a.             Melicinkan tangan dengan minyak / baby oil

b.            Kedua tangan diantara kedua payudara kearah atas, samping, kebawah dan melintang sehingga tangan menyangga payudara

c.             Dilakukan 30 kali selama 5 menit

2.                   Pengurutan Kedua

a.             Melicinkan tangan dengan minyak / baby oil

b.            Telapak tangan kiri menopang payudara kiri dan jari-jari tangan kanan dirapatkan

c.             Jari kelingking tangan kanan mengurut payudara kiri dari pangkal payudara kearah puting, dilakukan secara bergantian.

d.            Dilakukan 30 kali selama 5 menit

3.                   Pengurutan Ketiga

a.             Melicinkan tangan dengan minyak / baby oil

b.            Telapak tangan kiri menopang payudara kiri

c.             Jari tangan kanan dikepalkan, tulang kepalan tangan kanan mengurut payudara dari pangkal kearah puting

d.            Dilakukan 30 kali selama 5 menit

2.2       ASI Eksklusif

2.2.1    Pengertian ASI Eksklusif

                        ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja kepada bayi selama enam bulan pertama kehidupan tanpa memberikan cairan lain, makanan padat atau air kecuali vitamin, mineral dan supplement obat yang diizinkan. ASI eksklusif diberikan untuk mencapai kesehatan dan tumbuh kembang opimal (WHO, 2010).

                        ASI eksklusif adalah pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sejak lahir sampai dengan bayi berumur enam bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Depkes, 2004). Sedangkan menurut Roesli 2000, ASI eksklusif adalah hanya memberikan ASI saja kepada bayi tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim selama 6 bulan.

                        Pemberian ASI eksklusif dapat menyelamatkan 1,5 juta jiwa anak dibawah lima tahun. WHO dan UNICEF merekomendasikan tiga hal untuk tumbuh kembang optimal anak. Ketiga hal tersebut adalah inisiasi menyusui dini dengan durasi 1 jam setelah melahirkan, ASI eksklusif selama 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI dan ASI sampai bayi berumur 2 tahun.

                        ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi sampai berusia 6 bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun (Roesli, 2000). Pemberian ASI selama 6 bulan dapat mencegah kejadian infeksi, diare dan menghemat pengeluaran (WHO, 2003). Tiga puluh ribu kematian bayi di Indonesia dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif.

                        Pemerintah Indonesia dalam peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012 telah menetapkan pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi di Indonesia sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 bulan dan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Dalam keputusan ini juga pemerinah memina semua tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan menginformasikan kepada semua ibu yang baru melahirkan untuk menjalankan ASI eksklusif.

                        WHO dan UNICEF merekomendasikan ASI eksklusif selama 6 bulan, menyusui dalam 1 jam pertama setelah kelahiran, menyusui setiap kali bayi mau, tidak menggunakan botol atau dot. Bayi baru lahir sebaiknya disuse setiap 2-3 jam sampai bayi merasa puas. Menyusui minimal 5 menit pada masing-masing payudara pada hari pertama dan semakin meningkatkan frekuensinya setiap hari sehingga dapat meningkatkan produksi ASI secara optimal. Waktu menyusui 20 menit masing-masing payudara cukup untuk bayi.

2.2.2    Alasan Penundaan Pemberian MP ASI

            Alasan mengapa WHO-UNICEF mengubah peraturan memberikan ASI eksklusif dari 4 bulan menjadi 6 bulan.

1.                  Riset medis mengatakan bahwa ASI eksklusif membuat bayi yang berkembang dengan baik pada 6 bulan pertama, bahkan pada usia lebih dari 6 bulan

2.                  Pemberian ASI ekslusif atau penundaan pemberian makanan padat, dapat memberikan perlindungan pada bayi dari berbagai penyakit. Menunda pemberian makanan lain selain ASI dapat memberikan kesempatan pada system pencernaan bayi untuk berkembang menjadi lebih matang.

3.                  Dalam 4-6 bulan pertama usia bayi, saat usus masih terbuka, antibody dari ASI melapisi organ pencernaan bayi dan menyediakan kekebalan pasif, mengurangi terjadinya penyakit dan reaksi alergi sebelum penutupan usus terjadi. Bayi mulai memproduksi antibody sendiri pada usia sekitar 6 bulan dan penutupan usus biasanya terjadi pada saat yang sama.

2.2.3    Alasan Pemberian ASI Eksklusif

            ASI diberikan kepada bayi karena mengandung banyak manfaat dan kelebihan. Diantaranya menurunkan risiko terjadinya penyakit infeksi, misalnya infeksi saluran pencernaan (diare), infeksi saluran pernapasan dan infeksi telinga. ASI juga bisa menurunkan dan mencegah terjadinya penyakit noninfeksi seperti penyakit alergi, obesitas, kurang gizi, asma selain itu ASI dapat pula meningkatkan IQ dan EQ anak.

            Menyusui anak bisa menciptakan ikatan psikologis dan kasih saying yang kuat antara ibu dan anak. Bayi merasa terlindungi dekapan ibunya, mendengar langsung denyut jantung ibu, serta merasakan sentuhan ibu saat disusui olehnya. Hal itu tidak dirasakan bayi ketika minum susu lainnya selain ASI, karena dia harus menggunakan botol.

            Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan dan perkembangan. ASI memberikan semua energy dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan oleh bayi selama 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi tingkat kematian bayi yang dikarenakan berbagai penyakit yang menimpannya.

            Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan bayi ditentukan oleh pemberian ASI eksklusif. ASI mengandung zat gizi yang tidak terdapat dalam susu formula. Komposisi zat dalam ASI antara lain 88,1% air, 3,8% lemak, 0,9% protein, 7% laktosa, serta 0,2% zat lainnya yang berupa DHA, DAA dan zat gizi lainnya (Prasetyono, 2009).

            Menurut Roesli (2008), bayi yang ASI eksklusif akan tumbuh menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas. Karena dengan pemberian ASI eksklusif akan memenuhi kebutuhan awal bayi untuk tumbuh kembang secara optimal baik fisik, kepandaian, emosional, spiritual, maupun sosialisasinya.

2.2.4    Menyusui

            WHO dan UNICEF merekomendasikan ASI eksklusif selama 6 bulan, menyusui dalam 1 jam pertama setelah kelahiran, menyusui setiap kali bayi mau, tidak menggunakan botol dan dot. Bayi baru lahir sebaiknya disusu setiap 2-3 jam sampai bayi merasa puas. Menyusui minimal 5 menit pertama pada masing-masing payudara pada hari pertama dan semakin meningkatkan frekuensinya setiap hari sehingga dapat meningkatkan produksi ASI secara optimal. Waktu menyusui 20 menit masing-masing payudara cukup untuk bayi.

            Waktu pemberian ASI tidak perlu dibatasi. Jumlah ASI yang normal pada minggu pertama 550 ml/hari. Dalam 2-3 minggu produksi meningkat menjadi 800 ml/hari. Jumlah produksi ASI dapat mencapai 1,5-2 L/harinya tergantung dari beberapa banyak dan sering bayi menyusui, semakin banyak hormone prolaktin dilepaskan, semakin banyak produksi ASI.

2.2.5    Langkah Keberhasilan ASI Eksklusif

                        Menurut Astutik (2004), sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui adalah :

1.                  Mempunyai kebijkan tertulis tentang menyusui

2.                  Melatih tenaga kesehatan dengan ketrampilan untuk menerapkan kebijakan

3.                  Menjelaskan kepada ibu tentang manfaat dan manajemen laktasi

4.                  Membantu ibu-ibu mulai menyusui bayinya dalam waktu 30 menit setelah melahirkan

5.                  Memperlihatkan kpada ibu tentang cara menyusui yang benar

6.                  Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayinya sebelum umur 6 bulan

7.                  Melaksanakan rawat gabung

8.                  Mendukung pemberian ASI kepada bayi tanpa jadwal

9.                  Tidak memberikan dot atau kempeng

10.              Membentuk dan membantu kelompok pendukung ASI

2.2.6    Pemberian ASI Ketika Ibu Bekerja

            Semua ibu harus memberika ASI eksklusif, meskipun ibu bekerja. Saat ini diketahui bahwa ibu yang bekerja sekitar 70%.  Fenomena ibu menunjukkan bahwa banyak ibu yang tidak bisa menyusui secara eksklusif. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa bayi tidak dapat memperoleh ASI sama sekali (Prasetyono, 2009).

            Dengan pengetahuan yang benar tentang menyusui, perlengkapan memerah ASI dan dukungan lingkungan kerja, seorang ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI secara eksklusif (Roesli, 2009).

            Secara ideal tempat kerja yang memperkerjakan perempuan hendaknya memiliki tempat penitipan bayi atau anak. Dengan demikian ibu dapat membawa bayinya ketempat bekerja dan menyusuinya setiap beberapa jam. Namun bila tidak memungkinkan karena tempat kerja jauh berikanlah ASI perah/pompa pada bayi saat ibu bekerja (Roesli, 2009).

2.2.7    Cara mengeluarkan ASI dengan tangan

            1.         Cuci tangan sampai bersih

            2.         Pegang cangkir bersih untuk menampung ASI

            3.         Condongkan badan kedepan dan sanggah payudara dengan tangan

4.         Letakkan ibu jari pada batas atas areola mamae dan letakkan jari telunjuk pada batas areola mamae bagian bawah sehingga berhadapan.

5.         Tekan kedua jari kedalam kearah dinding dada tanpa menggeser letak kedua jari

6.         Pijat daerah diantara kedua jari kearah depan sehingga akan memeras dan mengeluarkan ASI yang berada didalam sinus lactiferous

7.         Ulangi gerakan tekan, pijat dan lepas beberapa kali

2.2.8    Cara menyimpan ASI perah

Menyimpan ASI peras dalam ruangan yang sejuk dengan suhu maksimal 32 ºC. Semakin rendah suhu, ASI semakin bartahan lama hingga 3-4 bulan. ASI yang disimpan dalam ruangan yang bersuhu 32 ºC dapat bertahan sampai 12 jam, sedangkan ASI yang disimpan dalam lemari es pada suhu 0-4ºC bisa bertahan selama 1-2 hari. Sementara itu, ASI yang disimpan dalam freezer  mampu bertahan hingga 3-4 bulan. Sebaiknya wadah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan ASI terbuat dari plastic polietilen atau gelas kaca (Prasetyono, 2009).

2.2.9    Masalah Pemberian ASI Eksklusif

            Menurut Mulyani (2013), masalah dalam pemberian ASI antara lain :

1.                  Masalah menyusui pada ibu

a.             Ibu kurang mendapat informasi

Akibat ibu kurang mendapat informasi dapat menyebabkan ibu lebih cepat memberikan susu formula jika merasa ASI nya kurang

b.            Puting susu terbenam / pendek

Puting susu terbenam / pendek pada saat kehamilan seharusnya sudah diketahui, hal ini disebabkan karena ada sesuatu yang menarik ke dalam misalnya penyempitan saluran susu

c.             Payudara bengkak

Tiga hari setelah persalinan payudara sering terasa penuh, tegang dan nyeri. Kondisi ini terjadi akibat bendungan pada pembuluh darah di payudara sebagai tanda ASI mulai banyak di produksi. Jika ibu berhenti menyusui, kondisi ini akan semakin parah

d.            Puting susu lecet

Puting susu lecet disebabkan karena kesalahan posisi menyusui.

e.             Mastitis atau abses payudara

Mastitis merupakan peradangan pada payudara yang terjadi pada 1-3 minggu melahirkan yang diakibatkan oleh sumbatan saluran susu yang berlanjut. Sumbatan pada saluran susu disebabkan kurangnya ASI yang dikeluarkan / dihisap yang tidak efektif

2.                  Masalah menyusui pada bayi

a.             Bayi bingung puting

Bingung puting (Nipple Confusion) merupakan suatu keadaan yang terjadi karena bayi mendapat susu formula dalam botol dan bergantian dengan menyusu pada ibunya.

b.            Bayi enggan menyusu

c.             Bayi sering menangis

d.            Bayi premature dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) mempunyai masalah menyusu karena refleks menghisap lemah

e.             Bayi kembar

3.                  Aliran Air Susu

Kecepatan aliran air susu bisa bervariasi. Terkadang air susu mengalir secara lambat dan kadang mengalir dengan deras. Lambatnya aliran air susu dapat dikarenakan tersumbatnya saluran putting susu. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya ibu memeras payudara dan mengeluarkan sedikit ASI sebelum menyusui guna memperlancar aliran air susu. Air susu terlalu deras dikarenakan payudara penuh dengan susu, aliran jadi tidak terkendali. Ini wajar terjadi pada minggu-minggu pertama masa menyusui.

4.                  ASI belum keluar setelah persalinan

Pakar ASI dari FKUI-RSCM Prof. dr. Rulina Suradi, Sp. A (K), IBCLC menjelaskan bahwa bayi cukup bulan dan lahir tanpa komplikasi memiliki cadangan energi yang cukup untuk mempertahankan hidupnya selama 72 jam tanpa diberi minum atau makan apapun, sehingga tidak perlu takut bayi akan bermasalah jika tidak segera mendapat air susu.

Bayi baru lahir memiliki cadangan makanan di dalam tubuhnya yang diperoleh dari plasenta selama berada di rahim, sehingga bayi baru lahir tidak memerlukan makanan/minuman apapun selain kolostrum. Kolostrum akan menjadi imunisasi, karena berfungsi untuk melapisi dinding usus bayi (yang sel-selnya belum rapat) menjadi tertutup dan akhirnya rapat.

ASI yang berbentuk kolostrum diproduksi pada trimester kedua kehamilan (minggu ke-16), dan terus diproduksi sampai kelahiran. Pada sebagian ibu terkadang kolostrum sudah keluar pada trimester ketiga, tetapi sebagian besar ibu kolostrum baru keluar pada hari ke-2 atau ke-3 setelah kelahiran. Kedua hal ini adalah normal karena pada 48 – 72 jam pasca kelahiran tubuh ibu mulai meningkatkan produksi ASI, sehingga ibu merasakan payudara mengencang dan mengeluarkan kolostrum.

Oleh itu tidak perlu khawatir, jika ASI/kolostrum belum keluar di hari 1 atau ke-2 setelah kelahiran. Hal ini dikarenakan jumlah kolostrum yang sangat sedikit karena sesuai kebutuhan bayi dan warnanya yang bening atau kekuningan, sehingga membuat keluarnya kolostrum tidak terasa/terlihat oleh ibu. Ini juga yang menjadi alasan mengapa bayi baru lahir tidak perlu diberikan makanan/minuman selain ASI. Dengan skin-to-skin contact yang sering dan bayi berada satu ruangan dengan ibu, akan mempercepat keluarnya ASI/kolostrum, sehingga proses menyusui dapat semakin lancar. Semakin sering ibu menyusui bayinya di hari-hari pertama setelah kelahiran, semakin banyak kolostrum yang diperoleh bayi, dan semakin banyak produksi ASI ibu.

 

 

2.3       Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif

            Pemberian ASI eksklusif sama dengan bentuk perilaku yaitu tindakan yang dijalankan seseorang sebagai tanggapan terhadap rangsangan/stimulus lingkungan.

            Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan ASI diantaranya yaitu perubahan social budaya, faktor psikologi, faktor fisik ibu, faktor kurangnya petugas kesehatan, meningkatnya promosi susu formula dan penerangan yang salah (Suraatmaja, 1997).

            Menurut Livingstone (1995), faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pemberian ASI diantaranya yaitu berat bedan lebih rendah, inisiasi yang terlambat dan ibu belum berpengalaman, paritas, umur ibu, pengalaman menyusui yang gagal, tidak adanya dukungan keluarga, kebiasaan suatu daerah, sudah merencanakan untuk membatasi pemberian ASI. Ibu-ibu muda dengan status sosial rendah di lingkungan industri lebih sedikit yang berhasil menyusui bayinya.

2.3.1    Teori Perilaku

            Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas seseorang yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh orang lain. Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yg berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan factor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Skinner, 1928 dalam Notoatmodjo, 2010).

Salah satu model yang dapat digunakan untuk mempelajari perilaku adalah kerangka PRECEDE-PROCEED

 

http://2.bp.blogspot.com/-ZK4uBmuPfPg/VYNl13LVMvI/AAAAAAAAAQ8/Y8_O3nxHG98/s1600/1.PNG

            Gambar 2.1 : Kerangka Precede Proceed Green & Kreuter, (2005).

 

            Dari kerangka tersebut dapat dilihat bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi, pemungkin dan penguat. Selain oleh 3 faktor tersebut perilaku juga dapat terbentuk sebagai hasil dari lingkungan.

2.3.1.1 Faktor Predisposisi

            Faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, persepsi yang berhubungan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. Secara umum faktor predisposisi adalah preferensi individu atau kelompok dalam berperilaku. Preferensi ini bisa mendukung atau menghambat perilaku kesehatan. Faktor predisposisi yang lain adalah faktor faktor demografi seperti status sosial ekonomi, usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga.

a.                   Sosio – demografi, terdiri atas sosio ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga. Faktor ini tidak dapat di intervensi, tetapi berguna dalam menentukan sasaran dan strategi atau metode intervensi

b.                  Sosio – Psikologik, terdiri atas pengetahuan, keyakinan, sikap dan nilai yang dapat di intervensi dengan pendidikan kesehatan.

1)                  Pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu system gagasan yang bersesuaian dengan benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan (Mehra&Burhan, 1964) dalam Sobur (2009). Peningkatan pengetahuan tidak selalu merubah perilaku. Tetapi asosiasi positif antara kedua variabel ini telah ditunjukkan oleh hasil penelitian Catwright, penelitian Stanford Three-Community, serta sejumlah penelitian lain (Green,1980). Pengetahuan kesehatan dibutuhkan terjadinya perilaku kesehatan. Tetapi mungkin juga perilaku kesehatan yang diharapkan tidak dilakukan walaupun seseorang telah mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memotivasinya. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan dibutuhkan, tetapi tidak cukup untuk merubah perilaku.

2)                  Keyakinan

Kepercayaan adalah keyakinan bahwa suatu fenomena itu adalah benar atau nyata (Green, 1980). Contoh pernyataan kepercayaan berorientasi pada kesehatan misalnya “saya tidak percaya obat ini dapat bekerja dengan baik”. Teori Health Belief Model yang dikembangkan oleh Rosenstock, dkk dalam Green (1980) menjelaskan dan memprediksi perilaku dapat terjadi karena: 1. Seseorang harus meyakini bahwa kesehatannya dalam keadaan bahaya, 2. Seseorang harus mengalami kondisi sakit atau ketidaknyamanan yang serius, kehilangan waktu bekerja, kesulitan ekonomi dan sebagainya, 4. Harus ada isyarat untuk bertindak atau pencetus yang mendorong seseorang untuk bertindak.

3)                  Sikap

Menurut Mucchielli dalam Green (1980), sikap adalah kecenderungan pikiran atau perasaan yang konstan tehadap kategori tertentu dari obyek, orang atau situasi. Sedangkan menurut Kirsht dalam Green (1980), sikap menggambarkan kumpulan keyakinan yang terkandung di dalam aspek evaluative, dimana sikap selalu dinilai dalam konteks baik dan buruk maupun positif dan negative.

4)                  Nilai

Nilai yang dianut seseorang berhubungan dengan pilihan perilakunya. Misalnya alasan mengapa seseorang merokok atau tidak merokok. Konflik mengenai nilai yang berkaitan dengan kesehatan menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan kesehatan.

2.3.1.2 Faktor Pemungkin ( Enabling Factor)

                     Faktor pemungkin adalah ketrampilan-ketrampilan dan semberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku kesehatan (Green, 1980). Sumber daya dapat berupa fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, sekolah-sekolah kesehatan, keterjangkauan sumberdaya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam buka pelayanan dan sebagainya. Ketrampilan disini merupakan kemampuan untuk melakukan tugas yang merupakan perilaku yang diharapkan. Kegagalan dalam mempertimbangkan dampak factor pemungkin ini dapat memicu masalah praktis yang serius.

2.3.1.3 Faktor Pendorong (Reinforcing Factor)

                     Faktor pendorong adalah semua factor yang mendukung perilaku kesehatan (Green, 1980). Reinforcement dapat berasal dari keluarga, teman sebaya, petugas kesehatan atau dapat juga orang atau kelompok yang berpengaruh yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.3.1.4 Lingkungan

            Yang langsung memaksa perilaku, perilaku paksaan.

 

2.3.2    Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif

2.3.2.1 Faktor Predisposisi

a)                  Umur

Usia / umur adalah lamanya hidup yang dihitung sejak lahir sampai saat ini (Notoatmodjo,2007). Umur berpengaruh dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dilatarbelakangi dengan factor lainnya seperti pendidikan dan pengalaman (Sampoerna dan Azwar, 1987) yang dikutip dari Wulandari (2012).

            Menurut Whortington, et al. (1993) yang dikutip dalam Wulandari (2012) ibu dengan usia yang lebih muda dapat memproduksi ASI yang lebih lebih banyak dibandingkan ibu yang sudah tua dikarenakan adanya pembesaran payudara setiap siklus ovulasi mulai dari permulaan tahun menstruasi sampai dengan usia 30 tahun, sedangkan diatas 30 tahun terjadi degenerasi payudara secara keseluruhan termasuk kelenjar alveoli sebagai kelenjar penghasil ASI sehingga mengurangi produksi ASI.

Hasil penelitian Astuti (2013), sebanyak 82,9% ibu yang memberikan ASI eksklusif berumur 20-30 tahun. Hasil uji statistik diperoleh p ≥ 0,05 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan pemberian ASI Eksklusif. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Rahmawati (2010), sebanyak 35 ibu dari 52 ibu usia <20-30 tahun (67%0 tidak memberikan ASI eksklusif dan sebanyak 16 ibu dari 28 ibu usia > dari 30 tahun (57,1%) memberikan ASI eksklusif, diperoleh nilai p=0,034 dan nilai p< 0,05 sehingga nilai tersebut menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara usia dengan pemberian ASI eksklusif.

b)                  Pendidikan

Menurut Mudyahardjo (2004) dalam Wibowo (2010) menyatakan bahwa pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agat masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2005). Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan ibu berhubungan dengan pola pemberian ASI eksklusif (Yuliandarin, 2009).

Kondisi tingkat pendidikan akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesehatannya (syafrudin, 2009). Sedangkan menurut Soeparmanto (2011), pendidikan dapat berefek positif atau berefek negative pada pemberian ASI eksklusif.

Pendidikan membuat seseorang terdorong untuk ingin tau, untuk mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan. Pendidikan mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima suatu ide baru dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. Sehingga promosi dan informasi mengenai ASI eksklusif dengan mudah diterima dan dilaksanakan. Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan ibu berhubungan dengan pola pemberian ASI eksklusif (Yuliandarin, 2009).

Berdasarkan penelitian Astuti (2013), didapatkan bahwa 24,4% ibu yang memberikan ASI eksklusif berpendidikan tinggi. Hasil uji statistic diperoleh p<0,05 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pemberian ASI eksklusif. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Anggrita (2009) di Medan bahwa tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu menyusui dengan pemberian ASI eksklusif.

Pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi jumlah ibu tidak memberikan ASI pada bayinya. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu berpendidikan tinggi biasanya mempunyai banyak kesibukan diluar rumah, sehingga cenderung meninggalkan bayinya. Sedangkan ibu berpendidikan rendah lebih banyak tingga di rumah sehingga lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menyusui bayinya (Depkes, 2001).

c)                  Pekerjaan

            Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian (KBBI, 2012). Bekerja bukanlah alasan untuk menghentikan ASI eksklusif, meskipun waktu cuti relative singkat. Seorang ibu yang bekerja dapat terus memberikan ASI secara eksklusif jika mempunyai pengetahuan yang benar tentang menyusui, perlengkapan memerah ASI dan dukungan lingkungan kerja (Roesli, 2009).

Pekerjaan berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif dimana ibu yang tidak bekerja berpeluang memberikan ASI eksklusif 16,4 kali dibandingkan ibu yang bekerja (Yuliandarin, 2009). Dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam mengasuh anak. Sedikitnya lama cuti pasca melahirkan dan jam kerja yang panjang menjadi faktor beralihnya ibu ke susu formula dan ibu menyapih anak (Andini, 2006).

Menurut hasil Penelitian Astuti (2013), sebanyak 23,9 % ibu yang memberikan ASI eksklusif sebagai ibu rumah tangga. Hasil uji statistk diperoleh p≤0,05 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif. Dari hasil analisis didapatkan nilai OR=0,170 artinya ibu sebagai ibu rumah tangga mempunyai peluang 0,17 untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang bekerja.

d)                 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui penginderaan yang dimiliki. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2005). Begitu pula dalam perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, jika mempunyai pengetahuan yang baik tentang ASI kemungkinan besar akan memberikan ASI eksklusif dan jika tidak didukung dengan pengetahuan yang baik mungkin kecenderungan untuk memberikan ASI eksklusif lebih rendah.

Rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI eksklusif  dikarenakan kurangnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki ibu mengenai nutrisi bagi bayinya sampai umur 6 bulan dan manfaat yang terkandung dalam ASI (Sunar,2012).

Hasil penenlitian Wijayanti (2011) di Puskesmas Singkawang Timur Kalimantan Barat menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan perilaku ASI eksklusif. Hasil uji statistic menunjukkan nilai p=0,002 (p<α) dan OR 0,307, artinya responden dengan pengetahuan yang kurang berpeluang 0,3 kali memberikan ASI eksklusif dibandingkan responden yang berpengetahuan baik.

Penelitian di Kelurahan Kesilampe, Puskesmas Matta, Kota Kendari Sulawesi Tenggara yang dilakukan oleh Suhartin (2011), menunjukkan hasil bahwa pengetahuan berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif, dimana ibu yang berpengetahuan baik mempunyai peluang 30 kali lebih besar dalam memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang berpengetahuan kurang.

e)                  Sikap

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya). Sikap melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain (Newcomb) dalam Notoatmodjo (2010).

Pengukuran sikap menurut Azwar (1995) menggunakan model Likert : Sikap Likert dikenal dengan Summated rating method. Dalam menciptakan alat ukur likert juga menggunakan pernyataan-pernyataan dengan menggunakan alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan tersebut. Subyek yang diteliti disuruh memilih salah satu alternative jawaban yang dikemukakan oleh Linkert:

1.                  Sangat setuju (strongly approve)

2.                  Setuju (approve)

3.                  Tidak mempunyai standard (undecided)

4.                  Tidak setuju (disapprove)

5.                  Sangat tidak setuju (strangly disapprove)

 Hal ini di dukung dengan hasil penelitian dari Firmansyah (2012) yang mengatakan bahwa sikap ibu menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Tuban dengan nilai OR atau Exp (B) = 10,000 yang artinya bahwa responden dengan sikap baik kemungkinan memberikan ASI eksklusif 10 kali lebih besar dibandingkan responden dengan sikap cukup.

Menurut penelitian Isroni (2013), data antara sikap dengan perilaku pemberian ASI  eksklusif bahwa 18,6 % ibu yang memberikan ASI eksklusif mempunyai sikap yang positif. Hasil uji statistic diperoleh p≤0,05 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara sikap ibu dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Dari hasil analisis didapatkan nilai OR=8,776 artinya ibu yang mempunyai sikap positif mempunyai peluang 8,77 kali untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang mempunyai sikap yang negatif

2.3.2.2 Faktor Pemungkin

            a.         Faktor Fisik Ibu

            Faktor fisik ibu merupakan hal penting yang secara langsung akan mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Factor fisik tersebut antara lain putting tenggelam, ibu mengalami putting lecet dan mastitis. Sekitar 57% dari ibu menyusui dilaporkan pernah menderita lecet atau nyeri pada putting susu. Penyebab puting susu lecet terbesar adalah kesalahan dalam teknik menyusui.

            Pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan sering timbul keluhan payudara bengkak, ini disebabkan karena ASI tidak disusui dengan adekuat sehingga sisa ASI terkumpul didalam system duktus. Payudara yang bengkak dan puting susu lecet akan memudahkan masuknya kuman. Hal tersebut menimbulkan radang payudara berupa mastitis. Mastitis merupakan infeksi yang steril sehingga bayi dapat terus menyusui, tetapi rasa sakit yang timbul akan membatasi pemberian ASI.

            b.         Pengeluaran ASI

            Setelah lahir bayi mulai menghisap maka suplai air susu meningkat dengan cepat. Pada keadaan normal, sekitar 100 ml tersedia pada hari kedua dan ini meningkat menjadi 500 ml pada minggu kedua. Produksi ASI yang paling efektif biasanya dicapai pada 10–14 hari setelah melahirkan. Selama beberapa bulan selanjutnya, bayi yang sehat mengkonsumsi sekitar 700–800 ml pe 24 jam. Bayi cukup bulan dan lahir tanpa komplikasi memiliki cadangan energi yang cukup untuk mempertahankan hidupnya selama 72 jam tanpa diberi minum atau makan apapun, sehingga tidak perlu takut bayi akan bermasalah jika tidak segera mendapat air susu.

            Pada sebagian ibu terkadang kolostrum sudah keluar pada trimester ketiga, tetapi sebagian besar ibu kolostrum baru keluar pada hari ke-2 atau ke-3 setelah kelahiran. Kedua hal ini adalah normal karena pada 48 – 72 jam pasca kelahiran tubuh ibu mulai meningkatkan produksi ASI, sehingga ibu merasakan payudara mengencang dan mengeluarkan kolostrum.

2.3.2.3 Faktor Penguat

            a.         Dukungan Suami

            Pada dasarnya proses menyusui bukan hanya antara ibu dan bayi, tetapi ayah juga memiliki peran yang sangat penting dan dituntut keterlibatannya. Bagi ibu menyusui, suami adalah orang terdekat yang diharapkan selalu ada di sisi ibu dan selalu siap member bantuan. Keberhasilan ibu dalam menyusui tidak terlepas dari dukungan yang terus menerus dari suami (Swasono, 2008 dalam Ramadani, 2009).

Dukungan suami merupakan faktor penting terhadap keberhasilan ASI eksklusif. Dukungan suami dibutuhkan mulai dari hamil sampai menyusui. Kepercayaan suami akan keberhasilan ibu dalam menyusui serta kemampuan suami memberikan informasi mengenai ASI dapat menghilangkan kendala yang ada dan merubah keadaan psikologis ibu. Penelitian yang dilakukan oleh Yuliandarin (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan suami dengan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang mendapat dukungan suami yang baik berpeluang 12,98 kali lebih besar memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang memiliki dukungan suami yang rendah.

            b.         Dukungan Keluarga

            Banyak penelitian sudah menemukan bukti hubungan antara dukungan menyusui, baik dari keluarga, masyarakat, maupun petugas kesehatan dengan keberhasilan ASI eksklusif. Dibeberapa penelitian di Eropa, dukungan menyusui dari suami atau keluarga besar terbukti meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif. Penelitian di Kalgari, Kanada tahun 2009 menemukan kelompok ibu yang memiliki dukungan sosial yang rendah memiliki risiko 1,6 kali lipat untuk berhenti memberikan ASI eksklusif sebelum 6 bulan. Sikap dan perilaku suami dalam menyusui sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku ibu dalam menyusui (Fahriani, 2013).

            c.         Dukungan Tenaga kesehatan

            Berhasil atau tidaknya menyusui di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit sangat bergantung pada petugas kesehatan yaitu perawat, bidan atau dokter. Merekalah orang pertama yang membantu ibu bersalin untuk memberikan ASI kepada bayi.

            Hasil penelitian Rahayu (2013), (p=0,000 <  α = 0,005) mengatakan            bahwa terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif di Wilayah kerja Puskesmas Bonto Cani Kabupaten Bone. Hal ini sejalan dengan penelitian Nikma (2012) di Wilayah Kerja Puskesmas Gribig bahwa terdapat hubungan peran bidan terhadap pemberian ASI eksklusif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.4       Kerangka Teori

Faktor Predisposisi :

1.         Sosio Demografis

§  Umur

§  Jenis Kelamin

§  Pendidikan

§  Pekerjaan

2.         Sosio Psikologi

§  Pengetahuan

§  Keyakinan

§  Sikap

§  Nilai

 

 
            Kerangka teori dalam penelitian ini mengacu pada model PRECEDE yang dikembangkan oleh Lawrence Green. Model ini merupakan model yang paling cocok diterapkan dalam perencanaan  dan evaluasi promosi kesehatan, yang dikenal dengan model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling Causes in Educational Diagnosis and Evaluation). Kerangka model PRECEDE seperti terlihat pada table berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 









Oval: PERILAKU PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2.2 : Kerangka Konsep

Sumber :Aplikasi Kerangka PRECED-PROCEED untuk pemberian ASI eksklusif yang diadop dari (Green dalam Notoatmodjo, 2010) dan  (Suraatmaja, 1997)